Monday, August 8, 2016

Papua Dalam “Rasisme” Indonesia

Oleh Fransiskus Bobii.
Mahasiswa Papua di Yogyakarta yang siap untuk pulang ke Papua – Jubi/Holandia Yona.

SUNGGUH sadis persoalan yang tengah dihadapi pemerintah dan bangsanya, keragaman persoalan kini tengah melilit seluruh derap bangsa yang berimbas pada hancurnya integritas bangsa dari mata dunia. Di antaranya penegakan supremasi hukum yang tidak memperlihatnya keadilan hingga menghancurkan totalitas dan wajah pemerintahan kita.

Mulai dari masalah sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, bahkan penegakan supremasi hukum yang tidak memperlihatkan adanya keadilan terhadap hak-hak dasar bangsa oleh para penegak supremasi hukum. Lebih parah lagi terciptanya suatu sistem rasisme yang sengaja ditanam di bangsa ini terhadap suku-suku, bangsa yang berbeda ras dengan bangsa Indonesia yang memiliki ras yang berbeda yang manusia di pulau Jawa.

 Hal itu dapat terlihat pada suku bangsa Papua yang hidup di negara Indonesia. Papua adalah bangsa yang sangat berbeda secara fisik dengan bangsa Indonesia yang lainnya. Mereka memiliki kekhususan dalam berbagai tatanan; mulai dari ciri khas dan perjalanan politik masa lalu. Sangat disayangkan suku-suku di Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang  dengan sebelah mata.

Berbagai cara ditempuh oleh pemerintah Indonesia agar suku-suku itu terus mengakui Indonesia sebagai negaranya. Namun warga Papua terus merontak atas semua upaya pemerintah. Sebab sangat terlihat dalam pelayanan pemerintah kepada suku-suku di Papua digenggam dalam sikap rasismenya.

Sebagai mana diketahu bahwa rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.

Hal itu tak dapat dipungkiri bahwa sikap rasisme terus terlihat dalam sikap dan tingkah laku pemerintah Indonesia di tanah Papua.

Lebih jelasnya rasisme ternyata menjadi suatu budaya bagi bangsa-bangsa di dunia, termasuk negara Indonesia. Orang yang rasis adalah orang yang meyakini bahwa karakteristik turunan yang dibawa sejak lahir secara biologis menentukan prilaku manusia. Doktrin rasisme menegaskan bahwa darah adalah penanda identitas bangsa-etnis. Rasisme, termasuk antisemitisme rasial (prasangka atau kebencian terhadap Yahudi atas dasar teori biologis yang salah), selalu merupakan bagian integral dari sosialisme nasional.

Semua sejarah manusia sebagai sejarah perjuangan yang ditentukan secara biologis antara orang-orang dengan berbagai ras berbeda. Setelah naik ke tampuk kekuasaan, contohnya Nazi mengesahkan Undang-Undang Nuremberg pada tahun 1935, yang mengodifikasikan apa yang mereka anggap sebagai definisi biologis ke-Yahudi-an.

Menurut teori ras Nazi, bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya adalah ras “Arya” yang unggul. Selama Perang Dunia II, dokter-dokter Nazi mengadakan eksperimen medis palsu untuk menemukan bukti fisik keunggulan bangsa Arya dan kelemahan bangsa non Arya. Kendati telah membantai tawanan non-Arya dalam jumlah yang tak terbilang pada eksperimen ini, Nazi tidak dapat menemukan bukti apa pun untuk teori mereka tentang perbedaan ras biologis di antara manusia.

Rasisme Nazi menimbulkan pembantaian dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama Perang Dunia II, pimpinan Nazi memulai apa yang mereka sebut “bersih-bersih etnis” di kawasan Timur, yang meliputi Polandia dan Uni Soviet, yang didudukinya. Kebijakan ini mencakup pembantaian dan pemusnahan ras yang disebutnya “ras” musuh melalui genosida terhadap kaum Yahudi Eropa dan penghancuran pimpinan bangsa Slavia. Kaum Nazi yang rasis memandang penyandang cacat fisik dan mental sebagai bahaya biologis bagi kemurnian ras Arya. Setelah merencanakan dengan cermat, dokter-dokter Jerman mulai membunuhi orang-orang cacat di berbagai lembaga penampungan di seluruh Jerman dalam operasi yang mereka perhalus dengan istilah “eutanasia.”

Hal  yang sama dirasakan juga suku-suku di Papua dari sejak dahulu, kini dan masa mendatang di Papua. Kekhwatiran Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politik sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk, paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial. (*)


Penulis adalah tokoh Pemuda Meepago, tinggal di Deiyai, Papua

No comments: