Oleh Abeth You.
Pria, wanita dan anak-anak masyarakat adat Papua mengenakan pakaian tradisional dalam perayaan ke-25 Festival Lembah Baliem/Getty Images. |
Jayapura, – Isu hak atas tanah, pengurusan diri sendiri atau
otonomi, termasuk partisipasi substantif yang bukan hanya berwujud
keikutsertaan, adalah isu-isu mendesak masyarakat adat sedunia, termasuk
Indonesia saat ini.
Hal itu dikatakan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka, Emilianus Ola
Kleden, kepada Jubi melalui pesan tertulis, Senin (8/8/2016) sebagai
catatan dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia ke-22 tahun ini.
Menurut dia, masyarakat Papua paling tepat merepresentasikan konsep
‘indigenous’ dalam hukum internasional. “Namun tantangan utamanya ada
dua, yakni statusnya sebagai Propinsi Indonesia dan konsolidasi internal
Papua, terutama dalam kehendak politik,” ujar Emil, yang sudah puluhan
tahun berkecimpung di isu-isu masyarakat adat tersebut.
Sebagai bagian Propinsi di Indonesia, lanjutnya, perjuangan
masyarakat adat (Indigenous Peoples-IPs) Papua kerap kali mesti
“disesuaikan” dengan statusnya sebagai bagian dari Indonesia. “Kalau
tidak, nanti mereka dibilang mau macam-macam,” kata Emil.
Hal itu terkait erat dengan tantangan kedua, bahwa isu masyarakat
adat Papua seringkali diperhadapkan dengan isu politik yang kuat
sehingga upaya menegakkan hak, yang sebetulnya adalah hak warga negara,
potensial mengalami pergeseran isu menjadi separatis.
“Orang-orang yang mau tuntut hak dalam pembangunan sering bilang mereka takut dibilang OPM,” kata Emil.
Sementara itu, lanjutnya, sentimen antar suku dan daerah di Papua
yang masih kuat, membuat isu IPs di suatu daerah cenderung dilihat
secara sangat terbatas. Tetapi identitas Melanesia saat ini bisa menjadi
jembatan.
“Menurut saya hal inilah yang coba dijembatani melalui isu Melanesia,” ujar Emil.
Ketika ditanyakan terkait perjuangan IPs di tingkat dunia saat ini,
Emil menegaskan bahwa Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat
(UNDRIP) 2007, yang diadopsi oleh 144 negara, serta COP (Conference of
Parties/Konferensi Para Pihak) adalah kemajuan yang sangat penting.
“Saya pikir yang sangat maju adalah UNDRIP. Selain itu
kesepakatan-kesepakatan dalam berbagai pertemuan COP, terkait iklim
maupun keanekaragaman hayati, membuat isu partisipasi dan hak masyarakat
adat makin mengarusutama,” tegasnya.
Di tempat terpisah, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Abdon Nababan, melalui pernyataan tertulisnya yang diterima redaksi
(8/8) mengatakan, hak atas pendidikan, budaya dan spiritualitas sudah
dijamin oleh Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat.
Menurut dia, arti penting pendidikan untuk pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat saat ini disuarakan masyarakat adat sedunia dalam
peringatan tahunan Hari Masyarakat Adat Sedunia setiap 9 Agustus.
Untuk itu AMAN akan menggelar Pekan Masyarakat Adat Nusantara,
mengambil tema ‘Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat
Adat’.
Kegiatan tersebut, katanya, akan digelar Direktorat Kepercayaan
Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) bekerjasama dengan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Akan turut berbicara di acara tersebut Deputi II AMAN, Rukka
Sombolinggi, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid.
“Perayaan bersama Kemendikbud merupakan kemajuan besar bagi bangsa
Indonesia karena baru pertama kali satu kementerian terlibat. Tema yang
dipilih juga menunjukkan pengakuan negara terhadap spiritualitas budaya
masyarakat adat yang sudah ada lama sebelum Republik ini berdiri,”
ujarnya.(tabloidjubi.com)
No comments:
Post a Comment