Monday, August 8, 2016

Dua Tantangan Masyarakat Adat Papua, di Hari Masyarakat Adat Sedunia

Oleh Abeth You.

1407745614108_wps_103_wamena_indonesia_august_0
Pria, wanita dan anak-anak masyarakat adat Papua mengenakan pakaian tradisional dalam perayaan ke-25 Festival Lembah Baliem/Getty Images.
Jayapura, – Isu hak atas tanah, pengurusan diri sendiri atau otonomi, termasuk partisipasi substantif yang bukan hanya berwujud keikutsertaan, adalah isu-isu mendesak masyarakat adat sedunia, termasuk Indonesia saat ini.

Hal itu dikatakan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka, Emilianus Ola Kleden, kepada Jubi melalui pesan tertulis, Senin (8/8/2016) sebagai catatan dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia ke-22 tahun ini.

Menurut dia, masyarakat Papua paling tepat merepresentasikan konsep ‘indigenous’ dalam hukum internasional. “Namun tantangan utamanya ada dua, yakni statusnya sebagai Propinsi Indonesia dan konsolidasi internal Papua, terutama dalam kehendak politik,” ujar Emil, yang sudah puluhan tahun berkecimpung di isu-isu masyarakat adat tersebut.

 Sebagai bagian Propinsi di Indonesia, lanjutnya, perjuangan masyarakat adat (Indigenous Peoples-IPs) Papua kerap kali mesti “disesuaikan” dengan statusnya sebagai bagian dari Indonesia. “Kalau tidak, nanti mereka dibilang mau macam-macam,” kata Emil.

Hal itu terkait erat dengan tantangan kedua, bahwa isu masyarakat adat Papua seringkali diperhadapkan dengan isu politik yang kuat sehingga upaya menegakkan hak, yang sebetulnya adalah hak warga negara, potensial mengalami pergeseran isu menjadi separatis.
“Orang-orang yang mau tuntut hak dalam pembangunan sering bilang mereka takut dibilang OPM,” kata Emil.

Sementara itu, lanjutnya, sentimen antar suku dan daerah di Papua yang masih kuat, membuat isu IPs di suatu daerah cenderung dilihat secara sangat terbatas. Tetapi identitas Melanesia saat ini bisa menjadi jembatan.
“Menurut saya hal inilah yang coba dijembatani melalui isu Melanesia,” ujar Emil.

Ketika ditanyakan terkait perjuangan IPs di tingkat dunia saat ini, Emil menegaskan bahwa Deklarasi  PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) 2007, yang diadopsi oleh 144 negara, serta COP (Conference of Parties/Konferensi Para Pihak)  adalah kemajuan yang sangat penting.
“Saya pikir yang sangat maju adalah UNDRIP. Selain itu kesepakatan-kesepakatan dalam berbagai pertemuan COP, terkait iklim maupun keanekaragaman hayati, membuat isu partisipasi dan hak masyarakat adat makin mengarusutama,” tegasnya.

Di tempat terpisah, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, melalui pernyataan tertulisnya yang diterima redaksi (8/8) mengatakan, hak atas pendidikan, budaya dan spiritualitas sudah dijamin oleh Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat.

Menurut dia, arti penting pendidikan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat saat ini disuarakan masyarakat adat sedunia dalam peringatan tahunan Hari Masyarakat Adat Sedunia setiap 9 Agustus.
Untuk itu AMAN akan menggelar Pekan Masyarakat Adat Nusantara, mengambil tema ‘Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat’.

Kegiatan tersebut, katanya, akan digelar Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Akan turut berbicara di acara tersebut Deputi II AMAN, Rukka Sombolinggi, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid.
“Perayaan bersama Kemendikbud merupakan kemajuan besar bagi bangsa Indonesia karena baru pertama kali satu kementerian terlibat. Tema yang dipilih juga menunjukkan pengakuan negara terhadap spiritualitas budaya masyarakat adat yang sudah ada lama sebelum Republik ini berdiri,” ujarnya.(tabloidjubi.com)

No comments: