Monday, June 27, 2016

Menulis Sejarah dan Identitas Bangsa Papua

Oleh: I Ngurah Suryawan.
I Ngurah Suryawan (Dok SP).

Gerakan menulis sejarah “baru” bagi rakyat Papua sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu alasan pentingnya adalah perlunya dengan “memahami dan menafsirkan” diri sendiri untuk menata ulang kehidupan sebagai sebuah bangsa ke depannya. Hal ini sangat urgen mengingat bahwa kebangkitan menulis sejarah baru dijiwai oleh berbagai motif yang secara keseluruhan menyangkut persoalan identitas dan ekspresi kedaulatan diri sendiri. Penegakan identitas —yang meskipun akan selalu problematik— dan ekspresi kedaulatan inilah yang terkekang selama rezim kekuasaan otoritarian Orde Baru dan berlanjut hingga kini di Tanah Papua. Warisan pengekangan itulah yang melahirkan lapisan-lapisan ingatan sejarah yang tersimpan dalam keseharian kehidupan rakyat Papua.

Giay (2000) secara tajam dan gamblang menyatakan bahwa menulis kembali sejarah bangsa Papua adalah persoalan menulis identitas dan jati diri bangsa ini. Perjalanan bangsa ini dalam pergumulannya dengan berbagai pihak melahirkan berbagai pengalaman baik dan juga pedih. Dengan menulis kembali sejarahnya, rakyat Papua akan merenungi dan merefleksikan kembali perjalanan dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini. Nah, dengan kesadaran demikianlah rakyat Papua akan menuntun dirinya untuk bersikap di masa depan.

Selama rezim otoritarian berkuasa di Indonesia —dan diwariskan hingga sekarang— terakumulasi pengetahuan di tengah masyarakat Indonesia bahwa berbagai gerakan pengungkapan ekspresi sosial politik dan keberbedaan pandangan sejarah adalah separatis dan melawan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dengan propaganda itulah, sejarah dan identitas Papua menjadi tersingkir dan tidak mendapatkan rekognisi (pengakuan) yang pantas di dalam Negara Indonesia. Yang justru terjadi adalah diskriminasi dan “kesalahan pemahaman” dalam berbagai program-program pembangunan yang berniat untuk “memberadabkan” dan mensejahterakan Papua.

Kini, diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) juga terbukti telah gagal dan ditolak oleh rakyat Papua dan mengembalikannya ke Jakarta. Otsus sebenarnya memberikan peluang kepada rakyat Papua untuk mengaktualisasikan dirinya dalam penulisan sejarah dan pengungkapan “kebenaran” terkait dengan berbagai tragedi-tragedi kekerasan yang terjadi selama ini di Tanah Papua. Otsus bukan hanya berkaitan dengan persoalan uang dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, namun juga yang lebih abstrak menyangkut kebebasan berekspresi dan menunjukkan diri dalam identitas kultural Papua. Kajian-kajian kritis yang menyangkut “kebenaran” sejarah kekerasan dan kebudayaan Papua dan perumusan langkah-langkah desiminasi di tengah masyarakat Papua yang heterogen dan terfragmentasi menjadi sangat penting.

Dokumen Itu di Papua
Subyek penulisan sejarah baru itu adalah rakyat Papua sendiri yang berada di Tanah Papua. Pengalaman dan kesaksian mereka terhadap setiap momen-momen penting di Tanah Papua ini sangatlah penting untuk didokumentasikan. Tidak cukup hanya mendokumentasikan, kesaksian dan pengetahuan mereka adalah sumber untuk menjiwai pencarian identitas rakyat Papua dalam perjalanan sejarah selama ini. Di tangan subyek-subyek pelaku sejarah itulah jejak-jejak masa lalu dari bagaimana bangunan rakyat Papua tercipta. Sisi personal kesaksian mereka sangatlah berarti untuk mengimbangi narasi sejarah yang dikontruksi oleh negara ini yang penuh dengan tipu daya dan kebohongan.

Konstruksi sejarah yang dirancang negara secara sadar dan sengaja menyingkirkan narasi sejarah dari rakyat kecil. Yang menjadi “pemenang” adalah narasi yang diungkapkan oleh para elit Indonesia maupun para elit Papua (yang dipilih oleh elit Indonesia). Oleh sebab itulah diperlukan “sejarah alternatif” yang emansipatoris dengan tujuan untuk merekognisi identitas rakyat Papua yang disingkirkan secara sadar dan sengaja tersebut. Satu-satunya cara adalah dengan menjadikan menulis sejarah kritis sebagai gerakan sosial di tengah masyarakat.

Gerakan menulis sejarah baru bagi rakyat Papua ini bukan saja menjadi hak milik bagi orang Papua, tetapi terbuka luas bagi sejarawan ataupun ilmuwan, pelaku sejarah dan seluruh komponen masyarakat. Syaratnya sudah tentu adalah perspektif yang kritis dan emansipatoris serta memberikan ruang kepada sumber-sumber sejarah yang berada di Tanah Papua untuk menuturkan kesaksian sejarahnya. Dalam konteks yang terjadi di Papua, sangat penting artinya dokumen sejarah yang mengangkat pengalaman dan kejadian masa lampau amat penting untuk merekonstruksi —menyusun kembali— sejarah bangsa Papua menuju Papua Baru. Kerena pengalaman lampau sangat menentukan pemahaman diri orang Papua sekarang, dan masa depannya sebagai suatu bangsa. Sehingga usaha untuk mencari dokumen sejarah mejadi suatu agenda prioritas.

Khusus bagi penulisan kembali sejarah orang Papua, dokumen-dokumen historis ada di dalam pengalaman sejarah dan pemahaman diri bangsa Papua yang dipengaruhi oleh rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi di tanahnya sendiri. Orang Papua yang telah mengikuti perjalanan sejarah sejak zaman Belanda  bangsa Papua hingga sekarang di bawah pemerintahan RI adalah sumber dan saksi-saksi sejarah yang dapat dipercaya. Kita tidak perlu mencari dokumen sejarah di mana-mana. Dokumen sejarah dari luar negeri, kita butuhkan tetapi hanya sebatas melengkapi. Bukan sebagai dokumen utama.

Dokumen yang mendasari pelurusan sejarah bangsa Papua menuju Papua Baru itu harus dicari di Papua karena pertama para pelaku dan koraban dari sejarah Papua yang ingin diluruskan itu adalah rakyat kecil —bangsa Papua— yang ada di Tanah Papua. Kedua, orang Papua ini mempunyai pengalaman sejarah yang tidak pernah ditulis dan tidak pernah mendapat wadah, yang telah membentuk karakter dan pemahaman diri orang Papua dewasa ini. Pemahaman ini perlu dimiliki oleh orang Papua yang ingin meluruskan sejarahnya. Sehingga dengan sikap dan pandangan ini, kita akan menghindari kesan bahwa orang Ppaua tidak ada pengalaman sejarah —yang itu tidak mungkin— dan oleh karena itu harus meminta bantuan orang lain atau pihak Barat untuk melegetimasi pengalaman dan pemahaman sejarah (Giay, 2000: 1-2).
Memoria Passionis adalah sebuah gerakan ideologis dan intelektual untuk menyelami sejarah sunyi bangsa Papua.

Pemahaman sejarah dan dokumen sejarah menuju Papua Baru, tidak terlepas dari memoria passionis; pengalaman sejarah penderitaan orang Papua yang mengalami penindasan yang berat, sejak Tanah Papua dimasukkan ke dalam Negara Republik Indonesia. Penderitaan ini teristimewa lantaran kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pembunuhan dan pelanggaran hak-hak dasar orang Papua. Dalam catatannya, Giay (2000:3-6) mengungkapkan bahwa keberbedaan menjadi sumber utama dari identtas Papua dan Indonesia. Dalam pemahaman diri orang Papua, orang Papua itu ya orang Papua. Orang Papua tidak akan pernah di-Indonesia-kan. Karena orang Papua siapapun dia, selalu berpandangan bahwa orang Indonesia itu lain dari orang Papua. Pemahaman ini tercermin dari pengalaman-pengalaman kecil yang menunjukkan pandangan akan keberbedaan itu.

Salah satu ekspresi serta representasi yang menjiwai penulisan sejarah baru rakyat Papua ini adalah resistensinya terhadap konstruksi yang dibuat oleh negara. Resistensi inilah yang berimplikasi kepada perlawanan terhadap konstruksi sejarah yang dibentuk oleh negara. Resistensi yang kuat akan terbentuk melalui serangkaian kesaksian dan narasi-narasi yang dituturkan oleh rakyat Papua yang mempunyai pengalaman getir berhubungan dengan negara. Salah satu pengalaman getir tersebut, yang menjadi ingatan sosial dan terwarisi kepada generasi Papua selanjutnya adalah kekerasan dan penderitaan.

Namun sejarah kontemporer yang terjadi di Papua penuh dengan fragmentasi (keterpecahan) di tengah masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri dalam penulisan sejarah ini. Seperti halnya identitas etnik di Tanah Papua yang heterogen dan penuh dengan kompleksitas, begitu juga yang terjadi dalam gerakan penulisan sejarah baru rakyat Papua ini. Kompleksitas yang dimaksudkan adalah begitu banyaknya lapis-lapisan di tengah masyarakat Papua dengan berbagai posisi dan kepentingannya masing-masing. Oleh sebab itulah membayangkan satu Papua (Pan Papua) adalah kemustahilan. Apa itu Papua atau ke-Papua-an hingga kini masih dalam perdebatan dan penuh dengan kompleksitas.

Gerakan menulis sejarah baru menghadapi tantangan untuk memberikan jiwa kepada identitas Papua yang masih dalam pembentukan dan dinamika terus-menerus. Namun, sesuatu yang menjadi catatan penting adalah bahwa gerakan ini sangat urgen karena dokumen sejarah itu adalah rakyat Papua yang berada di Tanah Papua. Kesaksian mereka sangatlah penting artinya. Hal lainnya adalah bahwa pengalaman kekerasan dan penderitaan adalah satu poin yang tidak akan bisa dilepaskan dari gerakan penulisan sejarah baru rakyat Papua. Kemungkinan salah satu identitas dari penulisan sejarah baru rakyat Papua adalah pengalaman penderitaan akibat ulah negara. Dan oleh sebab itulah salah satu representasi ke-Papua-an adalah perlawanan dari ke-Indonesia-an.

Penulis adalah staf Pendidik di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menulis buku Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015).



SUmber : www.suarapapua.com

No comments: