Oleh Fransiskus Bobii.
Mahasiswa Papua di Yogyakarta yang siap untuk pulang ke Papua – Jubi/Holandia Yona. |
SUNGGUH sadis persoalan yang tengah dihadapi
pemerintah dan bangsanya, keragaman persoalan kini tengah melilit
seluruh derap bangsa yang berimbas pada hancurnya integritas bangsa dari
mata dunia. Di antaranya penegakan supremasi hukum yang tidak
memperlihatnya keadilan hingga menghancurkan totalitas dan wajah
pemerintahan kita.
Mulai dari masalah sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, bahkan
penegakan supremasi hukum yang tidak memperlihatkan adanya keadilan
terhadap hak-hak dasar bangsa oleh para penegak supremasi hukum. Lebih
parah lagi terciptanya suatu sistem rasisme yang sengaja ditanam di
bangsa ini terhadap suku-suku, bangsa yang berbeda ras dengan bangsa
Indonesia yang memiliki ras yang berbeda yang manusia di pulau Jawa.
Hal itu dapat terlihat pada suku bangsa Papua yang hidup di negara Indonesia. Papua adalah bangsa yang sangat berbeda secara fisik dengan bangsa Indonesia yang lainnya. Mereka memiliki kekhususan dalam berbagai tatanan; mulai dari ciri khas dan perjalanan politik masa lalu. Sangat disayangkan suku-suku di Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang dengan sebelah mata.
Berbagai cara ditempuh oleh pemerintah Indonesia agar suku-suku itu
terus mengakui Indonesia sebagai negaranya. Namun warga Papua terus
merontak atas semua upaya pemerintah. Sebab sangat terlihat dalam
pelayanan pemerintah kepada suku-suku di Papua digenggam dalam sikap
rasismenya.
Sebagai mana diketahu bahwa rasisme adalah suatu sistem kepercayaan
atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada
ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras
tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang
lainnya.
Hal itu tak dapat dipungkiri bahwa sikap rasisme terus terlihat dalam
sikap dan tingkah laku pemerintah Indonesia di tanah Papua.
Lebih jelasnya rasisme ternyata menjadi suatu budaya bagi
bangsa-bangsa di dunia, termasuk negara Indonesia. Orang yang rasis
adalah orang yang meyakini bahwa karakteristik turunan yang dibawa sejak
lahir secara biologis menentukan prilaku manusia. Doktrin rasisme
menegaskan bahwa darah adalah penanda identitas bangsa-etnis. Rasisme,
termasuk antisemitisme rasial (prasangka atau kebencian terhadap Yahudi
atas dasar teori biologis yang salah), selalu merupakan bagian integral
dari sosialisme nasional.
Semua sejarah manusia sebagai sejarah perjuangan yang ditentukan
secara biologis antara orang-orang dengan berbagai ras berbeda. Setelah
naik ke tampuk kekuasaan, contohnya Nazi mengesahkan Undang-Undang
Nuremberg pada tahun 1935, yang mengodifikasikan apa yang mereka anggap
sebagai definisi biologis ke-Yahudi-an.
Menurut teori ras Nazi, bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya
adalah ras “Arya” yang unggul. Selama Perang Dunia II, dokter-dokter
Nazi mengadakan eksperimen medis palsu untuk menemukan bukti fisik
keunggulan bangsa Arya dan kelemahan bangsa non Arya. Kendati telah
membantai tawanan non-Arya dalam jumlah yang tak terbilang pada
eksperimen ini, Nazi tidak dapat menemukan bukti apa pun untuk teori
mereka tentang perbedaan ras biologis di antara manusia.
Rasisme Nazi menimbulkan pembantaian dalam skala yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Selama Perang Dunia II, pimpinan Nazi memulai apa
yang mereka sebut “bersih-bersih etnis” di kawasan Timur, yang meliputi
Polandia dan Uni Soviet, yang didudukinya. Kebijakan ini mencakup
pembantaian dan pemusnahan ras yang disebutnya “ras” musuh melalui
genosida terhadap kaum Yahudi Eropa dan penghancuran pimpinan bangsa
Slavia. Kaum Nazi yang rasis memandang penyandang cacat fisik dan mental
sebagai bahaya biologis bagi kemurnian ras Arya. Setelah merencanakan
dengan cermat, dokter-dokter Jerman mulai membunuhi orang-orang cacat di
berbagai lembaga penampungan di seluruh Jerman dalam operasi yang
mereka perhalus dengan istilah “eutanasia.”
Hal yang sama dirasakan juga suku-suku di Papua dari sejak dahulu,
kini dan masa mendatang di Papua. Kekhwatiran Rasisme telah menjadi
faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial,
termasuk genosida. Politik sering menggunakan isu rasial untuk
memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk,
paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang
sebagai rasis sering bersifat kontroversial. (*)
Penulis adalah tokoh Pemuda Meepago, tinggal di Deiyai, Papua
No comments:
Post a Comment