Belakangan ini, permasalahan hak atas tanah menjadi diskursus sosial
yang cukup kompleks. Persoalan lahan kerap menimpa komunitas masyarakat
di tingkat akar rumput (grassroots).
Ketika berbicara soal hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat,
paradigma yang digunakan perlu didasarkan pada cara pandang moral.
Sebab, selama ini konteks kepemilikan lahan masyarakat dipandang sebelah
mata. Sehingga kemudian menimbulkan kealpaan negara membela hak sosial
masyarakat.
Titik sentral pembahasan tidak hanya berkutat soal bagaimana fungsi
dan kegunaannya, namun lebih dari itu, bagaimana cara mempertahankan hak
lahan sebagai warisan identitas masyarakat.
Menurut Van Vollenhoven, dalam bukunya De Indonesier en zijn Grond
(orang Indonessia dan tanahnya), hak milik adalah suatu hak eigendom
timur (Ooster eigendomsrecht), suatu hak kebendaan (zakelijk rech) yang
mempunyai wewenang untuk; (a) Mempergunakan atau menikmati benda itu
dengan batas dan sepenuh-penuhnya, (b) Menguasai benda itu
seluas-luasnya. (Van Vollenhoven, 1926: 92).
Apabila dikaitkan dengan tesis Van Vollenhoven, kenyataan yang
terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan penghormatan terhadap
kebendaan (tanah) masyarakat.
Kembali pada pokok permasalahan, dinamika kekerasan dan perampasan
lahan lazim terjadi. Gambaran konkretnya dapat dilihat ketika hak
masyarakat secara serampangan dilanggar. Tanah yang sebelumnya memiliki
fungsi sosial telah berubah menjadi benda ekslusif (objek kepentingan).
Siapa punya modal akan menguasainya.
Pada dasarnya, Konstitusi menjamin hak tanah dan hutan sebagai media
kolektif. Namun pada realitanya, terjadi pengkaplingan dan dikotomi
dalam konteks penguasaan oleh kelompok berlabel kapitalis. Secara
singkat, hegemoni kelas menjadi alat (tools) dan media sistematis
menjarah tanah masyarakat.
MIFEE: Ancaman bagi Pola Konsumsi Orang Papua
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun, sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional.
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun, sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional.
Program ini sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2014-2019, dimana Papua dipandang sebagai kawasan
strategis dan memiliki sumberdaya alam potensial dalam mewujudkan
ketahanan pangan.
Namun demikian, proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas
1,2 juta hektar ini, dipandang sebagai salah satu terobosan keliru.
Alasan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan justru bertolak belakang
dengan kebiasan hidup masyarakat Papua.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa pada dasarnya, konsumsi
masyarakat Papua adalah sagu (makanan tradisional). Kehadiran MIFEE,
dengan format transformasi lahan, berpotensi mengancam keberadaan hutan
yang selama ini berfungsi sebagai habitat tanaman sagu. Singkatnya,
degradasi kawasan hutan akan mengubah pola konsumsi masyarakat Papua.
Studi konkret yang terjadi di Papua adalah pengaruh ancaman MIFEE
terhadap eksistensi Suku Malind (masyarakat asli Merauke, Papua) yang
kini tengah mengalami dilema akibat kehilangan habitat meramu sagu. Bagi
suku Malind, sagu bukan sekedar bahan konsumsi, namun sebagai warisan
budaya lintas generasi.
Ekspansi MIFEE yang secara drastis mengubah lahan hutan dapat
membentuk siklus kelangkaan pangan dan krisis identitas masyarakat
Papua. Pola transformasi, dari wilayah hutan menjadi lahan pangan,
dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pergeseran nilai dan pola konsumsi
masyarakat Papua.
Pola eksploitatif yang ditimbulkan MIFEE, membawa ancaman dan
konsekuensi perubahan struktur komoditas pangan. Konsekuensi dari
kejadian ini secara perlahan mengikis relasi “ke-intim-an” masyarakat
Papua dengan budayanya.
Dari beberapa uraian konkret, kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret
kekerasan budaya karena secara eksplisit mendegradasi “lahan hidup”
masyarakat Papua. Disebut “lahan hidup”, karena lahan sagu dimodifikasi
secara paksa oleh pemerintah. Sementara, pada kenyataannya, komoditas
sagu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan hidup masyarakat Papua. Ada
ikatan historis yang begitu kuat sehingga sagu sebagai warisan dan ciri
khas konsumsi Orang Asli Papua. Ketika, keberadaannya tidak dapat
dinikmati atau diakses oleh masyarakat, maka berpotensi melahirkan
gejala pergeseran budaya. Kondisi ini sekaligus menjadi media sistematis
merusak kolektivitas budaya Papua.
MIFEE: Kekerasan Gaya Baru
Selain ancaman sosial dan budaya, proyek MIFEE yang diproyeksikan
sebagai lumbung pangan di kawasan Papua juga dikhawatirkan dapat
menciptakan pola kekerasan baru bagi masyarakat Papua serta
berkembangnya bahaya kapitalisme melalui jaring korporasi.
Poin kritis dari bentuk kekerasan adalah lahirnya implikasi
transformasi lahan secara paksa. Artinya, masyarakat tidak bersedia
ketika hutan mereka diubah. Fenomena ini kemudian melahirkan gangguan
(disparitas) dalam struktur sosial.
Masyarakat tidak dapat bertindak ketika melihat hutan mereka digusur. Kerena, ketika ada perlawanan, maka perjalalanan MIFEE semakin diwarnai kekerasan dan intimidasi. MIFEE akan memperlebar konflik dan menebar teror bagi lahirnya kekerasan dalam habitus sosial masyarakat.
Selama ini, masyarakat sebagai kelas minoritas hanya menerima resiko
ancaman dan hak-haknya dikerdilkan secara tidak manusiawi. Pembiaran
oleh negara semakin telah membuka ruang kekerasan baru dalam lapisan
sosial (social layers).
Pada dasarnya, pendekatan kebijakan dan prinsip humanis mesti sejalan
agar menghindari tindakan kekerasan. Sebab, pada semua tingkat
pemahaman, kekerasan merupakan musuh bersama (common enemy).
Kehadirannya tidak dibenarkan karena sebagai stigma pelanggaran HAM. (*)
*Penulis adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran”
Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh Studi Magister Social Welfare di
Universitas Padjadjaran, Bandung
Sumber : www.tabloidjubi.com
No comments:
Post a Comment