Monday, July 18, 2016

Aksi Aparat terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta, Perburuk Wajah NKRI

 Oleh : Abeth You.

Polisi mengepung Asrama mahasiswa Kemasan Yogyakarta Jumat 1572016-membunuhindonesiacom
Polisi mengepung Asrama mahasiswa Kemasan Yogyakarta, Jumat 15/7/2016-membunuhindonesiacom.

Jayapura,  – Indonesia bukan negara kekuasaan, melainkan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Hal ini tegas dinyatakan dan dijamin oleh konstitusi, serta dituangkan dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum. 

Demikian pernyataan bersama antara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama Gema Demokrasi yang terdiri dari puluhan organisasi masyarakat sipil, Sabtu (16/7), mengecam aksi brutal dan anti demokrasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI di asrama mahasiswa Papua, Kemasan, Yogyakarta, 15 hingga 16 Juli 2016.

 Di dalam siaran pers yang diterima Jubi, Minggu (17/07/2016), mereka menegaskan bahwa tindakan aparat Kepolisian D.I.Y. Yogyakarta, di bawah komando Kapolda Brigjen Pol. Prasta Wahyu Hidayat, mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta untuk mencegah pelaksanaan aksi long march, menyemprotkan gas air mata, menyita beberapa sepeda motor, melakukan penangkapan sewenang-wenang, dan melakukan pemukulan, adalah  bentuk brutalitas dan diduga sebagai tindakan penggerogotan negara hukum (Rule of Law) dan iklim demokrasi di Indonesia.

Tindakan represif kepolisian tersebut menyusul rencana Persatuan  Rakyat  untuk  Pembebasan  Papua  Barat  (PRPPB) mengadakan  mengadakan  long  march  dari  Asrama  Mahasiswa  Papua  Kamasan  I  (Jl. Kusumanegara) menuju Titik Nol KM, pada 15 Juli 2016.

Di dalam rilisnya, PPRB menyatakan, Long March diadakan dalam rangka member dukungan  pada  ULMWP  untuk  menjadi  anggota  penuh  MSG,  serta  memperjuangkan  hak  menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat.

Namun pada tanggal 13 Juli surat pemberitahuan PRPPB bernomor 05/PRPPB/2016 tertanggal 12 Juli 2016 ditanggapi dengan penolakan oleh Poresta Yogyakarta melalui Kasat Intelkam, Kompol Wahyu Dwi Nugroho. Alasan penolakan disebutkan bahwa “surat pemberitahuan harus diantar 7 hari sebelum diadakannya kegiatan”.

Menurut Jefry Wenda, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yang merupakan elemen pendukung PPRB, “rencana aksi damai ini lalu mendapatkan ancaman dari aparat kepolisian dan kelompok reaksioner. Sejak Kamis (14/7/2016) sore SMS bernada mengancam berdatangan, dengan menyebutkan “kafir dan antek-antek separatis kepada AMP,” ujarnya.

Jefri menjelaskan, broadcast pesan singkat terus berdatangan hingga Jumat (15/7/2016) dini hari mengatasnamakan elemen Muslim Yogyakarta, FKPPI, dan Panglima Laskar Jogja.

Represi dan ucapan rasialis

Di dalam kronologi peristiwa, PPRB menjelaskan bahwa pada pagi harinya (15/7/2016) aparat kepolisian bersenjata lengkap beserta kendaraan barakuda dan motor-motor trail mulai mengepung asrama mahasiswa. Disusul oleh organisasi-organisasi seperti Paksi Katon, Laskar Jogja, Pemuda Pancasila, dan FKPPI.
“Mereka meneriakkan kata-kata kasar dan rasialis kepada mahasiswa yang terkurung di dalam asrama”, demikian rilis tersebut.  Jalan Raya Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara 93, Yogyakarata,  diblokir, pintu gerbang asrama digedor-gedor, polisi berpakaian  preman  menyetop,  menyita  sepeda  motor  mereka.

Dilansir CNN Indonesia, Minggu (17/7/2016) ada sekitar 100 orang massa dari 4 ormas yang berjaga di depan asrama. Tak cuma para polisi yang bersenjata, tapi juga anggota ormas. “Mereka membawa kayu, linggis, dan benda-benda tajam lain,” kata seorang mahasiswa Papua di Yogya yang meminta namanya tak disebut, karena alasan keamanan.

Menurut laporan CNN tersebut, para mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama merasa gusar dan sakit hati karena berbagai bahasa yang dikeluarkan dengan nada rasialis dan menghina: “Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga, kepada kami –mahasiswa Papua, masyarakat Papua.”

Aparat Kepolisian yang berjaga di sekeliling asrama mendiamkan saja perilaku rasis tersebut. Ketika itu jumlah polisi tak kalah banyak. Salah seorang warga Yogya, Kindarto Boti, mengatakan Kepolisian mengerahkan pasukan sekitar tiga sampai empat truk. Warga lainnya berkata, para polisi datang bersenjata lengkap, bak hendak menangkap terroris.

Menurut Roy Karoba, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang ikut terkurung di dalam Asrama Kemasan Yogjakarta, kepada Jubi, Jumat malam (15/7/2016), mereka sampai tidak bisa keluar untuk membeli makanan. “Kami kelaparan ini, haus juga. Tidak bisa keluar untuk cari makan, mereka berjaga banyak, yang keluar ditangkap, yang antar makanan saja susah masuk.”

Hingga malam hari pengepungan masih berlanjut. Solidaritas bahan makanan untuk para mahasiswa yang terkurung di dalam asrama disalurkan lewat Palang Merah Indonesia (PMI). Namun ambulans PMI yang membawa makanan ke asrama, batal menurunkan logistik setelah dicegat polisi.

Makanan baru bisa masuk ke asrama mahasiswa Papua pukul 21.00 WIB. “Saya kirim jelang tengah malam karena sore belum bisa, penjagaan masih ketat sebab ada beberapa anggota ormas di sana,” kata Darto, salah seorang warga Yogya, seperti dilaporkan CNN Indonesia Minggu (17/6).

Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan personelnya masih akan terus menjaga dan memantau Asrama Kamasan I, Mahasiswa Papua sampai situasi dianggap aman.
“Polisi mengharapkan situasi kondusif. Kami menjaga agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan. Sebab mereka (para mahasiswa Papua) berencana menggelar unjuk rasa mendukung separatisme, Papua Merdeka, dan ada organisasi masyarakat yang tidak setuju,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY, AKBP Any Pudjiastuti.

Menurut Veronika Koman, LBH Jakarta, ada 8 orang mahasiswa yang ditangkap aparat keamanan dan dibebaskan tengah malam, Jumat (15/7/2016). Mereka adalah Teruanus Aud, Obet Hisage, Adius Kudligagal, Demi Dabi, Ferdinan Tangi, Beneditus Tegei, Obby Kogoya, dan Debby Kogoya.

Obby Kogoya (20 th), yang mengalami pengejaran, pengeroyokan dan pemukulan dalam keadaan terborgol sebelum kemudian ditangkap, dikenakan pasal 212 jo 315 tentang melawan perintah pejabat, dengan status wajib lapor.

Laurenzus Kadepa, dari Komisi I DPR Papua, Jum’at (15/7/2016) mengecam tindakan aparat kemanan terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. “Apakah itu kebijakan dari Kapolri baru dengan maksud untuk mematikan gerakan mahasiswa Papua yang sudah sar tentang perjuangan damai bersama pejuang pro demokrasi Indonesia?”

Dia menghimbau agar semua pihak mengambil langkah strategis sebelum korban semakin banyak jatuh.

Victor Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dalam pesan singkatnya ke redaksi Jubi Minggu (17/7) menyatakan bahwa tindakan aparat keamanan di Yogyakarta menunjukkan wajah Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri.
“Dengan menyebut kami ‘monyet’, sebenarnya wajah kegagalan ideologi NKRI lah yang sedang dipertontonkan. Haruskah atas nama NKRI kemanusiaan ditindak bagai binatang?” ujarnya.(tabloidjubi.com)

No comments: