Polisi mengepung Asrama mahasiswa Kemasan Yogyakarta, Jumat 15/7/2016-membunuhindonesiacom. |
Jayapura, – Indonesia bukan negara kekuasaan, melainkan
negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi
manusia (HAM). Hal ini tegas dinyatakan dan dijamin oleh konstitusi,
serta dituangkan dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Demikian pernyataan bersama antara Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta bersama Gema Demokrasi yang terdiri dari puluhan organisasi
masyarakat sipil, Sabtu (16/7), mengecam aksi brutal dan anti demokrasi
yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI di asrama mahasiswa Papua,
Kemasan, Yogyakarta, 15 hingga 16 Juli 2016.
Di dalam siaran pers yang diterima Jubi, Minggu (17/07/2016), mereka
menegaskan bahwa tindakan aparat Kepolisian D.I.Y. Yogyakarta, di bawah
komando Kapolda Brigjen Pol. Prasta Wahyu Hidayat, mengepung asrama
mahasiswa Papua di Yogyakarta untuk mencegah pelaksanaan aksi long
march, menyemprotkan gas air mata, menyita beberapa sepeda motor,
melakukan penangkapan sewenang-wenang, dan melakukan pemukulan, adalah
bentuk brutalitas dan diduga sebagai tindakan penggerogotan negara
hukum (Rule of Law) dan iklim demokrasi di Indonesia.
Tindakan represif kepolisian tersebut menyusul rencana Persatuan
Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) mengadakan mengadakan
long march dari Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I (Jl.
Kusumanegara) menuju Titik Nol KM, pada 15 Juli 2016.
Di dalam rilisnya, PPRB menyatakan, Long March diadakan dalam rangka
member dukungan pada ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG,
serta memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat.
Namun pada tanggal 13 Juli surat pemberitahuan PRPPB bernomor
05/PRPPB/2016 tertanggal 12 Juli 2016 ditanggapi dengan penolakan oleh
Poresta Yogyakarta melalui Kasat Intelkam, Kompol Wahyu Dwi Nugroho.
Alasan penolakan disebutkan bahwa “surat pemberitahuan harus diantar 7
hari sebelum diadakannya kegiatan”.
Menurut Jefry Wenda, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yang
merupakan elemen pendukung PPRB, “rencana aksi damai ini lalu
mendapatkan ancaman dari aparat kepolisian dan kelompok reaksioner.
Sejak Kamis (14/7/2016) sore SMS bernada mengancam berdatangan, dengan
menyebutkan “kafir dan antek-antek separatis kepada AMP,” ujarnya.
Jefri menjelaskan, broadcast pesan singkat terus berdatangan hingga
Jumat (15/7/2016) dini hari mengatasnamakan elemen Muslim Yogyakarta,
FKPPI, dan Panglima Laskar Jogja.
Represi dan ucapan rasialis
Di dalam kronologi peristiwa, PPRB menjelaskan bahwa pada pagi
harinya (15/7/2016) aparat kepolisian bersenjata lengkap beserta
kendaraan barakuda dan motor-motor trail mulai mengepung asrama
mahasiswa. Disusul oleh organisasi-organisasi seperti Paksi Katon,
Laskar Jogja, Pemuda Pancasila, dan FKPPI.
“Mereka meneriakkan kata-kata kasar dan rasialis kepada mahasiswa
yang terkurung di dalam asrama”, demikian rilis tersebut. Jalan Raya
Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara 93, Yogyakarata,
diblokir, pintu gerbang asrama digedor-gedor, polisi berpakaian
preman menyetop, menyita sepeda motor mereka.
Dilansir CNN Indonesia, Minggu (17/7/2016) ada sekitar 100 orang
massa dari 4 ormas yang berjaga di depan asrama. Tak cuma para polisi
yang bersenjata, tapi juga anggota ormas. “Mereka membawa kayu, linggis,
dan benda-benda tajam lain,” kata seorang mahasiswa Papua di Yogya yang
meminta namanya tak disebut, karena alasan keamanan.
Menurut laporan CNN tersebut, para mahasiswa Papua yang berada di
dalam asrama merasa gusar dan sakit hati karena berbagai bahasa yang
dikeluarkan dengan nada rasialis dan menghina: “Sungguh, mereka katakan,
teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga, kepada kami
–mahasiswa Papua, masyarakat Papua.”
Aparat Kepolisian yang berjaga di sekeliling asrama mendiamkan saja
perilaku rasis tersebut. Ketika itu jumlah polisi tak kalah banyak.
Salah seorang warga Yogya, Kindarto Boti, mengatakan Kepolisian
mengerahkan pasukan sekitar tiga sampai empat truk. Warga lainnya
berkata, para polisi datang bersenjata lengkap, bak hendak menangkap
terroris.
Menurut Roy Karoba, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang ikut
terkurung di dalam Asrama Kemasan Yogjakarta, kepada Jubi, Jumat malam
(15/7/2016), mereka sampai tidak bisa keluar untuk membeli makanan.
“Kami kelaparan ini, haus juga. Tidak bisa keluar untuk cari makan,
mereka berjaga banyak, yang keluar ditangkap, yang antar makanan saja
susah masuk.”
Hingga malam hari pengepungan masih berlanjut. Solidaritas bahan
makanan untuk para mahasiswa yang terkurung di dalam asrama disalurkan
lewat Palang Merah Indonesia (PMI). Namun ambulans PMI yang membawa
makanan ke asrama, batal menurunkan logistik setelah dicegat polisi.
Makanan baru bisa masuk ke asrama mahasiswa Papua pukul 21.00 WIB.
“Saya kirim jelang tengah malam karena sore belum bisa, penjagaan masih
ketat sebab ada beberapa anggota ormas di sana,” kata Darto, salah
seorang warga Yogya, seperti dilaporkan CNN Indonesia Minggu (17/6).
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan personelnya masih
akan terus menjaga dan memantau Asrama Kamasan I, Mahasiswa Papua sampai
situasi dianggap aman.
“Polisi mengharapkan situasi kondusif. Kami menjaga agar tak terjadi
hal yang tidak diinginkan. Sebab mereka (para mahasiswa Papua) berencana
menggelar unjuk rasa mendukung separatisme, Papua Merdeka, dan ada
organisasi masyarakat yang tidak setuju,” kata Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda DIY, AKBP Any Pudjiastuti.
Menurut Veronika Koman, LBH Jakarta, ada 8 orang mahasiswa yang
ditangkap aparat keamanan dan dibebaskan tengah malam, Jumat
(15/7/2016). Mereka adalah Teruanus Aud, Obet Hisage, Adius Kudligagal,
Demi Dabi, Ferdinan Tangi, Beneditus Tegei, Obby Kogoya, dan Debby
Kogoya.
Obby Kogoya (20 th), yang mengalami pengejaran, pengeroyokan dan
pemukulan dalam keadaan terborgol sebelum kemudian ditangkap, dikenakan
pasal 212 jo 315 tentang melawan perintah pejabat, dengan status wajib
lapor.
Laurenzus Kadepa, dari Komisi I DPR Papua, Jum’at (15/7/2016)
mengecam tindakan aparat kemanan terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.
“Apakah itu kebijakan dari Kapolri baru dengan maksud untuk mematikan
gerakan mahasiswa Papua yang sudah sar tentang perjuangan damai bersama
pejuang pro demokrasi Indonesia?”
Dia menghimbau agar semua pihak mengambil langkah strategis sebelum korban semakin banyak jatuh.
Victor Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dalam
pesan singkatnya ke redaksi Jubi Minggu (17/7) menyatakan bahwa tindakan
aparat keamanan di Yogyakarta menunjukkan wajah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sendiri.
“Dengan menyebut kami ‘monyet’, sebenarnya wajah kegagalan ideologi
NKRI lah yang sedang dipertontonkan. Haruskah atas nama NKRI kemanusiaan
ditindak bagai binatang?” ujarnya.(tabloidjubi.com)
No comments:
Post a Comment