Sunday, July 24, 2016

Inilah Delapan Pelanggaran Insiden Asrama Papua di Yogyakarta

Oleh Abeth You.

Anggota Kepolisian bersama beberapa Ormas mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta dengan alasan mencegah bentrokan antara para mahasiswa dengan kelompok masyarakat – Jubi.

Jakarta, - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan delapan dugaan pelanggaran HAM dalam insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 14-16 Juli lalu. Para mahasiswa yang berniat menggelar aksi long march mendukung Gerakan Pembebasan Papua menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group dikepung oleh polisi dengan sejumlah ormas antiseparatis yang mendatangi asrama itu.
 
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (22/7/2016), menyebutkan ada delapan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam insiden insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 14-16 Juli lalu.
“Pertama, telah terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat,” kata Pigai.

Pembatasan tersebut, ujar pria kelahiran Paniai Papua itu, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum.

Kedua, terjadi tindak kekerasan oleh aparat Kepolisian terhadap mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama. Ini bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.

Pelanggaran ketiga, terjadi hate speech berupa kekerasan verbal mengandung unsur rasisme dari ormas intoleran terhadap mahasiswa Papua. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dugaan pelanggaran keempat, lanjut Pigai terjadi pembiaran oleh aparat keamanan atas orasi berisi hate speech rasis dari ormas intoleran yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua. Ini bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Dugaan pelanggaran kelima, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan rasa aman bagi mahasiswa Papua melalui langkah konkret seperti mengeluarkan peraturan daerah, instruksi gubernur, atau pernyataan resmi untuk mencegah tindakan rasisme terhadap warga Papua,” ungkap  Pigai.

Sedangkan pelanggaran keenam, adalah terjadi penangkapan dan penahanan terhadap delapan orang mahasiswa Papua oleh Kepolisian, dengan satu di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, tanpa dua alat bukti yang kuat. Hal tersebut dinilai Komnas HAM bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang berkeadilan dan nondiskriminatif seperti diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
“Penggunaan kekuatan berlebihan oleh Kepolisian yang terlihat dari pengerahan jumlah aparat secara besar-besaran, penggunaan senjata, dan adanya tembakan gas air mata yang diarahkan ke Asrama Mahasiswa Papua adalah dugaan ketujuh,” lanjut Pigai.

Dan yang terakhir, multitafsirnya pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang separatisme yang tidak boleh ada di Yogya. Ucapan itu multitafsir karena tidak ditujukan kepada individu yang terkait separatisme, sehingga dapat dimaknai ditujukan kepada orang Papua di Yogya.
Perkataan itu, menurut Komnas HAM, juga dapat dimanfaatkan oleh 25 ormas di DIY dan masyarakat setempat untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip HAM.

Delapan dugaan pelanggaran HAM tersebut diumumkan setelah Komnas HAM turun langsung ke lokasi kejadian dan meminta keterangan dari sejumlah pihak seperti Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, mahasiswa Papua di Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Kapolda DIY. (tabloidjubi.com)


No comments: