Oleh Hengky Yeimo.
Antropolog Uncen Jack Morin – Jubi/Hengky Yeimo. |
Jayapura, – Antropolog Uiversitas Cenderawasih (Uncen) Jack
Morin menyebutkan empat fase arus pertama pengaruh globalisasi bagi
masyarakat Papua. Menurutnya terjadi hubungan yang kompleks antara
keterlibatan lokal dan interaksi lintas jarak yang membentuk sebuah
kejadian.
Sebuah peristiwa adalah tali-temali dari kejadian-kejadian yang tidak
hanya berlangsung di sekitar peristiwa itu, melainkan juga
kejadian-kejadian yang berasal dari tempat yang jauh.
“Jadi, terpenting kalau mau pelajari globalisasi dan budaya adalah
bukan sejarah globalisasi ke Papua, tetapi budaya materi dan non materi
yang masuk apa saja dan bagaimana ia berinterkasi dan hasil interaksi
atau dampak pada orang asli Papua seperti apa?” katanya kepada Jubi di
Kota Jayapura, Jumat (22/07/16).
Pertama, praglobalisasi, tahun 1451-1828, dimana ada
kunjungan dari berbagai negara kolonial untuk mengeksplorasi dan
melakukan aktivitas perdagangan. Namun kontak budaya belum intensif.
“Pada masa ini pengaruh budaya global masih dangkal atau bahkan belum sama sekali,” katanya.
Kedua, globalisasi berkisar dari tahun 1828-1898, Papua
sudah dijadikan bagian dari wilayah kekuasaan pemerintahan Belanda. Tapi
kontak intensif dengan penduduk Papua belum maksimal.
“Hanya ada kunjungan-kunjungan singkat dan eksplorasi ekspedisi ilmiah,” katanya.
Tahun 1898 Pemerintah Belanda mulai serius membangun Papua dari
mengalokasikan dan anggaran belanja sebsar 115.000 Gulden. Pos
pemerintahan Belanda mulai dibangun. Banyak budaya global mulai
diperkenalkan.
Kemudian pada fase ketiga globalisasi aktif berkisar dari tahun
1898-1963. Ketika itu Pemerintah Belanda membuka atau membentuk sistem
pemerintahan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan sampai tigkat
kampung (ada 6 afdeling setingkat provinsi; Gelvinkbaai, Central New Guinea, Zuid Neu Guinea, Fakfak dan West New Guinea).
“Budaya globalisasi seperti sistem pemerintahan, pendidikan formal,
kesehatan modern, sistem pasar dan lainnya membanjiri Papua dan
memengaruhi penduduk Papua,” katanya.
Menurutnya pada fase ketiga tahun 1963-sekarang fase masa
Pemerintahan Indonesia, segala macam budaya global dari seluruh dunia
membanjiri atau masuk dengan sangat deras ke Papua, baik melalui
ethnoscapes, tecnochapes, mediaschapes, financapes, dan idioscapes.
“Banyak budaya lokal yang hilang. Ada juga yang mengadaptasinya
dengan budaya global dan lainnya. Setiap kelompok mengambilnya dan
mempraktikkannya dengan cara masing-masing. Televisi, film, internet,
komputer, internet, komputer, handphone dan lain-lain diterima saja
tanpa bisa dicegah,” katanya.
Ia melanjutkan, pengaruh budaya globalisasi pada masyarakat Papua
pada arus kedua perspektif agama, perdagangan intenasional dan
masyarakat diasporik.
Dikatakannya, pada fase pertama ini yakni, penyebaran agama, sejarah masuknya agama Kristen, Katolik dan Islam.
“Pada fase kedua kata Jack Morin, yakni perdagangan, perdagangan
dengan Cina, pelayaran Hongi (Ternate-Tidore), perdagangan barter orang
Eropa dan sekarang perdaganan online dan lainnya,” katanya.
Kemudian fase ketiga ini jelas tampak pada penyebaran masyarakat
diasporik, penyebaran orang Biak, orang Papua di Belanda, transmigrasi,
BBM dan lain-lainnya.
Dosen Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Uncen Yusak E. Reba
mengatakan, migrasi dan globalisasi tidak bisa dibatasi. Namun harus
ditertibkan dan dikendalikan melalui instrumen hukum daerah di tingkat
kabupaten/kota agar pemerintah daerah memeroleh kejelasan dan kepastian
mengenai permasalahan masyarakat di daerah yang perlu ditangani melalui
kebijakan pembangunan daerah.
Kata dia, sistem database kependudukan di tingkat pemerintah
kabupaten/kota harus menampilkan data kependudukan yang terpilih,
transparan dan mudah diakses publik.
“Akurasi data untuk penduduk lokal belum valid karena aspek migrasi,
belum diatur penanganan secara jelas walaupun undang-undang nomor 24
tahun 2013 sebagai perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2006
tentang administrasi kependudukan yang mewajibkan e-KTP telah
diberlakukan, tetapi belum dapat mengatasi persoalan migrasi,” kata
Yusak.
Menurutnya Provinsi Papua memerlukan badan khusus yang menangani
kependudukan agar validitas data kependudukan terkait dengan pertumbuhan
dan pertambahan penduduk mudah diketahui dan dapat dijadikan acuan bagi
kebijakan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. (tabloidjubi.com)
No comments:
Post a Comment