Oleh : Rahmat Petuguran.
by Rahmat Petuguran. |
Saat yudisium tiba, tidak ada yang lebih penting buat mahasiswa
selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan indeks prestasi
komulatif yang diperolehnya.
Sangking penasarannya, banyak mahasiswa yang begadang sampai jam
00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal loading, coba lagi. Gagal
lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK kita cum laude. Dengan gaya sok
rendah hati yang dibuat-buat, kita akan memposting transkrip nilai di
Facebook.
Tapi kalau IPK kita jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita
akan nulis status “IPK bukan segalanya.” Atau, “Yang penting adalah
proses mendapatkannya.”
Hak untuk bangga atau tidak terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiwa merenungkan 15 pertanyaan ini.
1. Bagaimana IPK Dibuat?
doc : kampusundip.com |
Idealnya, pertanyaan serupa juga perlu diungkapkan terhadap IPK.
Bagaimana dosen memunculkan angka antara 0 sampai 4 itu di kartu hasil
studimu?
Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah akumulasi penilaian
kuantitatif dari nilai tugas, nilai ujian tengah semester, dan ujian
akhir semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot
tertentu. Ada dosen yang membuat rasioa 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga
yang 2:1:2 (ini dosennya bernama Prof Sinto Gendeng).
Tapi, apakah penghitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.
2. Mengapa Universitas Perlu Membuat IPK?
doc : ahaakutausekarang.blogspot.com |
Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang
merepresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca
untuk mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin
diketahui adalah perkembangan performa akademik mahasiswa.
Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan
mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti
pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.
3. Mengapa di Dunia Ini Harus Ada IPK?
doc : kabarkabari.net |
Keyakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi beraliran sama.
Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat, dan terukur.
Mereka percaya kemampuan, pemahaman, dan penghayatan mahasiswa
terhadap sebuah konsep juga harus terukur. Mereka baru percaya bahwa
seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada indikatornya.
Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat alat ukur
dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup
akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan
sehingga perlu ditinggalkan.
Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat ukur lain, misalnya ujian lisan, menulis makalah, atau portofolio.
No comments:
Post a Comment