Saturday, September 9, 2017

Isu Referendum West Papua Didorong Dalam PIF ke-48

Maureen Punjueli, Korrdinator Pacific Network on Globalisation (PANG) - IST

Jayapura,  - Dalam pertemuan Pemimpin Forum Pasifik ke-46 di Papua Nugini (PNG), Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), gereja dan gerakan sosial yang mewakili lebih dari 42 organisasi serta 13 negara dan wilayah meminta Pemimpin Forum untuk mengangkat kembali isu Papua Barat. Namun, para Pemimpin Forum mengakui sensitivitas politik dari isu tersebut dan setuju untuk melakukan dialog yang konstruktif dengan Indonesia. Para pemimpin juga sepakat untuk menempatkan West Papua tetap berada dalam agenda mereka.

Sebelumnya, tiga dari empat pengajuan kebijakan publik regional Pasifik melalui proses Sub-Komite Khusus Regionalisme (SSCR) pada tahun 2015 meminta kepemimpinan Perdana Menteri PNG, Peter O'Neill sebagai Ketua Forum, untuk melakukan tindakan berani dan segera demi melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia bangsa West Papua.

Pada tahun 2017, para Pemimpin Forum kembali berkomitmen untuk membuka dan membangun dialog dengan Indonesia mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Tantangannya sekarang tetap berada pada pemimpin PIF yang akan datang, Perdana Menteri Samoan, HE Tuilaepa Aiono Sailele Malielegaoi untuk melakukan tindakan yang telah disetujui oleh para pemimpin forum pada tahun 2015, 2016 dan pada tahun 2017.

Komunitas masyarakat sipil dan gereja di Pasifik berpendapat keadaan di West Papua semakin buruk dan sekarang saatnya PIF menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan atas nama rakyat West Papua.

Situasi terkini tentang West Papua di Pasifik
Maureen Punjueli, Korrdinator Pacific Network on Globalisation (PANG) kepada Jubi, Jumat (1/9/2017) mengatakan sejak tahun 2014 dan 2016, dinamika politik dan pengakuan perjuangan West Papua untuk penentuan nasib sendiri di wilayah Pasifik telah berubah secara signifikan. Bandas West Papua melalui kepemimpinan Pemerintah Vanuatu dan rakyatnya telah bersatu di bawah panji Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) pada tahun 2014. Tekad ULMWP untuk mencari pengakuan dan dukungan politis melalui keanggotaan blok sub-regional Melanesia Spearhead Group (MSG), Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP) dan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membawa isu West Papua pada posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Pada saat yang sama, platform MSG untuk mendorong perundingan politik damai antara kedua belah pihak (West Papua dan Indonesia) mengalami tantangan berat,” kata Punjueli.

Lanjutnya, pengakuan politis untuk bangsa West Papua dapat menentukan nasibnya sendiri telah dipenuhi dengan kekerasan dan pelecehan hak asasi manusia. OMS dan gereja serta gerakan sosial di Pasifik sekali lagi mendesak perhatian Pemimpin Forum terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang sedang berlangsung di West Papua.
“Pelanggaran-pelanggaran itu telah didokumentasikan dengan baik oleh badan pemantau hak asasi manusia internasional yang diakui. Pelanggaran terdokumentasi meliputi penolakan kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan kekerasan negara yang ditujukan pada laki-laki, perempuan dan anak-anak, akses yang tidak setara terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, dan meningkatnya epidemi HIV dan AIDS di kalangan masyarakat adat. West Papua pun masih tetap 'tertutup' bagi  wartawan internasional meski pemerintah Indonesia mengumumkan sebaliknya,” jelasnya.

Menurut Punjueli, situasi di West Papua pernah ditanggapi oleh Juan Mendez, mantan Penasihat Khusus Sekretaris Jendral PBB dengan menyimpulkan bahwa karena tingginya tingkat kekerasan dan penolakan hak asasi manusia yang mendasar, Papua Barat, sebagai sebuah bangsa, berisiko punah.

Negara Pasifik didorong desak referendum untuk West Papua
Demi mendorong terus keputusan Pemimpin Forum tahun 2006, 2015, 2016 dan 2017 secara proporsional, komunitas OMS dan gereja di Pasifik, menurut Punjueli mendesak Pemimpin Forum di bawah kepemimpinan Samoa untuk terus mendorong Tim Pencari Fakta regional yang ditugaskan melakukan Penilaian Hak Asasi Manusia di West Papua. Tim ini bekerja memverifikasi pelanggaran berat hak asasi manusia yang sedang berlangsung. Tim Pencari Fakta regional harus independen dan harus memasukkan anggota dari Organisasi Masyarakat Sipil di Pasifik.

“Kami juga mendukung desakan pemerintah Vanuatu, Kepulauan Solomon, Republik Marshall Islands, Tuvalu, Nauru, Palau dan Tonga, yang disampaikan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan September 2016, yang mendesak Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi mengunjungi West Papua untuk mendapatkan pandangan objektif dan independen mengenai situasi di wilayah ini,” jelas Punjueli.
Ia menambahkan komunitas masyarakat sipil Pasifik sangat mendukung Kepulauan Pasifik memimpin resolusi di UNGA untuk mendorong sebuah referendum dalam pengawasan internasional di West Papua. (*)


Sumber : www.tabloidjubi.com

No comments: