Ilustrasi tempat nongkrong mahasiswa jogja |
Asrama Mahasiswa Papua di jalan Kusumanegara dikepung ratusan polisi
dan anggota ormas, Jumat 15/7 lalu. Jalan di depan asrama ditutup, arus
lalu-lintas dialihkan. Berita itu sedikit dimuat atau disiarkan media
massa tetapi ramai di media sosial. Tentu saja apa yang pro dan kontra
terhadap penanganan aksi damai oleh polisi yang melibatkan ormas
tersebut. Dalam tayangan di Youtube, anggota ormas itu memaki-maki dari
luar pagar dengan aneka macam cacian misalnya separatis, monyet, anjing
dan lain-lain.
Namun di media sosial juga tak kalah serunya kritik terhadap polisi
Jogja tersebut. Ada akun Facebook menulis: Perlakuan tak manusiawi
polisi Jogja mengepung sepanjang hari asrama mahasiswa Papua merupakan
kado pahit buat Kapolri baru yang mantan Kapolda Papua. Gimana polri mau
profesional, menangani aksi damai musti ajak ormas anarkis dan rasis?
Gimana polri junjung HAM kalau mobil PMI yg bawa bantuan logistik untuk
mahasiswa malah diusir. Menangani aksi mahasiswa kok seolah mau perang.
Katanya kota budaya lha kok polisi dan ormasnya begitu? Mana Gubernur
DIY?
Soal tuduhan separatis oleh ormas di Jogja dengan tulisan di spanduk
ditanggapi para netizen dengan mengunggah foto-foto lama saat di Jogja
ramai menolak RUU Keistimewaan versi Jakarta. Foto-foto yang diunggah
itu antara lain paspor Ngayogyakarto Hadiningrat, uang ala Jogja
Merdeka, Ngayogyokarto Airline, tentara Jogja Merdeka dan kartu
identitas Jogja Merdeka.
Saat aksi damai mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua tersebut, di
Jogja suasana liburan Idul Fitri 2016 menjelang usai. Jogja kian kembali
normal. Tidak macet. Jogja kembali menjadi kota pendidikan. Keramaian
wisata kini tinggal di beberapa lokasi seperti Malioboro, Kraton, Tugu,
dan Prawirotaman. Hotel dan penginapan tak lagi penuh sesak. Penginapan
atau resor seperti Rumah Mertua, Omah Bude, Rumah Kakak, Omah Eyang,
Omah Lawas, Omah Dusun, kembali normal, termasuk harganya.
Namun, tahukan Anda, sesungguhnya, bagi Jogja, wisatawan sejati
adalah para mahasiswa yang memilih studi di kota pendidikan itu. Mereka
datang bergelombang, setidaknya 300 ribu pertahun dan mengisi
kampus-kampus di kota ini. Para mahasiswa tak tinggal di hotel dan
selama seminggu makan di restoran bermerek. Mereka tinggal berbaur di
kost-kost sekitar kampus atau asrama mahasiswa daerah (kini mulai marak
apartemen mahasiswa). Mereka inilah yang menghidupi kampus, kost,
angkringan, kafe, karaoke, londri, fotokopi, toko buku dan usaha kecil
lainnya.
Koordinator Kopertis V Kemenristekdikti, Dr Bambang Supriyadi
mengungkapkan selama 2009 hingga 2014, jumlah mahasiswa di PTS di DIY
selalu bertambah. Berdasar data dari Forlap Dikti di 2009, jumlah
mahasiswa PTS di DIY sebanyak 170.540 orang. Sementara pada 2014,
jumlahnya menjadi 222.155 orang. “Jadi memang jumlah mahasiswa bertambah
banyak. Banyak PTS yang animo pendaftarnya meningkat pesat. Misalnya
UTY yang dulu mahasiswa barunya hanya 1.300, sekarang sudah 3.000. Di
UST dulu sekitar 1.100, sekarang 1.900 orang,” ujar Bambang. (Tribun
Jogja 4/3/2016).
Sebagai kota yang dijadikan tujuan calon mahasiswa, Yogyakarta memiliki 136 unit perguruan tinggi
yang memiliki beberapa kategori diantaranya akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, dan universitas. Jumlah perguruan tinggi yang
cukup banyak ini berbanding lurus dengan kuota yang disediakan
masing-masing perguruan tinggi.
Masa tinggal mahasiswa di Jogja tak sesingkat wisatawan biasa yang
maksimal seminggu. Para mahasiswa tinggal di kota ini minimal empat
tahun sampai tujuh tahun. Kalau mahasiswa tergolong MA (mahasiswa
abadi), Mapala (mahasiswa paling lama) atau mahasisa, masa tinggalnya
jauh lebih lama. Merekalah yang, meminjam slogan koran “Kedaulatan
Rakyat” migunani tumraping liyan (berguna bagi orang lain).
Di Jogja, beberapa kawasan tumbuh dan berkembang (secara bisnis)
setelah ada kampus berdiri di situ. Kawasan Pogung, Sagan, Demangan, dan
Gejayan hidup karena ada UGM, UNY dan Sanata Dharma. Kawasan Babarsari
hidup karena ada Universitas Atmajaya dan UPN. Kawasan jalan Kaliurang
KM 20 kini bergairah karena ada Universitas Islam Indonesia (UII). Juga
kawasan yang kini paling seksi, Seturan, karena ada beberapa kampus di
situ.
Pada akhir studi di Jogja, para wisatawan mahasiswa ini diwisuda di
kampus masing-masing. Ada yang setahun dua kali (seperti STPMD “APMD”)
ada juga yang setahun wisuda empat kali. Setiap wisudawan akan membawa
serta dua orang tua dan calon suami/istri dan keluarga lainnya. Mereka
juga butuh kendaraan, penginapan, kuliner, foto studio, sedikit
jalan-jalan sampai perlu ke salon rias segala.
Jadi jelas sudah, sebagai kota pendidikan dan wisata, sesungguhnya
wisatawan sejati adalah para mahasiswa. Dan, sekali lagi, saya tak bisa
membayangkan Jogja tanpa mahasiswa….
Sumber : www.indeksberita.com
No comments:
Post a Comment