Oleh: I Ngurah Suryawan.
I Ngurah Suryawan (Dok SP). |
Gerakan
menulis sejarah “baru” bagi rakyat Papua sangat mendesak untuk
dilakukan. Salah satu alasan pentingnya adalah perlunya dengan “memahami
dan menafsirkan” diri sendiri untuk menata ulang kehidupan sebagai
sebuah bangsa ke depannya. Hal ini sangat urgen mengingat bahwa
kebangkitan menulis sejarah baru dijiwai oleh berbagai motif yang secara
keseluruhan menyangkut persoalan identitas dan ekspresi kedaulatan diri
sendiri. Penegakan identitas —yang meskipun akan selalu problematik—
dan ekspresi kedaulatan inilah yang terkekang selama rezim kekuasaan
otoritarian Orde Baru dan berlanjut hingga kini di Tanah Papua. Warisan
pengekangan itulah yang melahirkan lapisan-lapisan ingatan sejarah yang
tersimpan dalam keseharian kehidupan rakyat Papua.
Giay
(2000) secara tajam dan gamblang menyatakan bahwa menulis kembali
sejarah bangsa Papua adalah persoalan menulis identitas dan jati diri
bangsa ini. Perjalanan bangsa ini dalam pergumulannya dengan berbagai
pihak melahirkan berbagai pengalaman baik dan juga pedih. Dengan menulis
kembali sejarahnya, rakyat Papua akan merenungi dan merefleksikan
kembali perjalanan dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini. Nah,
dengan kesadaran demikianlah rakyat Papua akan menuntun dirinya untuk
bersikap di masa depan.
Selama rezim
otoritarian berkuasa di Indonesia —dan diwariskan hingga sekarang—
terakumulasi pengetahuan di tengah masyarakat Indonesia bahwa berbagai
gerakan pengungkapan ekspresi sosial politik dan keberbedaan pandangan
sejarah adalah separatis dan melawan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Dengan propaganda itulah, sejarah dan identitas
Papua menjadi tersingkir dan tidak mendapatkan rekognisi (pengakuan)
yang pantas di dalam Negara Indonesia. Yang justru terjadi adalah
diskriminasi dan “kesalahan pemahaman” dalam berbagai program-program
pembangunan yang berniat untuk “memberadabkan” dan mensejahterakan
Papua.
Kini, diberlakukannya Otonomi
Khusus (Otsus) juga terbukti telah gagal dan ditolak oleh rakyat Papua
dan mengembalikannya ke Jakarta. Otsus sebenarnya memberikan peluang
kepada rakyat Papua untuk mengaktualisasikan dirinya dalam penulisan
sejarah dan pengungkapan “kebenaran” terkait dengan berbagai
tragedi-tragedi kekerasan yang terjadi selama ini di Tanah Papua. Otsus
bukan hanya berkaitan dengan persoalan uang dalam pembangunan
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat,
namun juga yang lebih abstrak menyangkut kebebasan berekspresi dan
menunjukkan diri dalam identitas kultural Papua. Kajian-kajian kritis
yang menyangkut “kebenaran” sejarah kekerasan dan kebudayaan Papua dan
perumusan langkah-langkah desiminasi di tengah masyarakat Papua yang
heterogen dan terfragmentasi menjadi sangat penting.
Dokumen Itu di Papua
Subyek
penulisan sejarah baru itu adalah rakyat Papua sendiri yang berada di
Tanah Papua. Pengalaman dan kesaksian mereka terhadap setiap momen-momen
penting di Tanah Papua ini sangatlah penting untuk didokumentasikan.
Tidak cukup hanya mendokumentasikan, kesaksian dan pengetahuan mereka
adalah sumber untuk menjiwai pencarian identitas rakyat Papua dalam
perjalanan sejarah selama ini. Di tangan subyek-subyek pelaku sejarah
itulah jejak-jejak masa lalu dari bagaimana bangunan rakyat Papua
tercipta. Sisi personal kesaksian mereka sangatlah berarti untuk
mengimbangi narasi sejarah yang dikontruksi oleh negara ini yang penuh
dengan tipu daya dan kebohongan.
Konstruksi
sejarah yang dirancang negara secara sadar dan sengaja menyingkirkan
narasi sejarah dari rakyat kecil. Yang menjadi “pemenang” adalah narasi
yang diungkapkan oleh para elit Indonesia maupun para elit Papua (yang
dipilih oleh elit Indonesia). Oleh sebab itulah diperlukan “sejarah
alternatif” yang emansipatoris dengan tujuan untuk merekognisi identitas
rakyat Papua yang disingkirkan secara sadar dan sengaja tersebut.
Satu-satunya cara adalah dengan menjadikan menulis sejarah kritis
sebagai gerakan sosial di tengah masyarakat.
Gerakan
menulis sejarah baru bagi rakyat Papua ini bukan saja menjadi hak milik
bagi orang Papua, tetapi terbuka luas bagi sejarawan ataupun ilmuwan,
pelaku sejarah dan seluruh komponen masyarakat. Syaratnya sudah tentu
adalah perspektif yang kritis dan emansipatoris serta memberikan ruang
kepada sumber-sumber sejarah yang berada di Tanah Papua untuk menuturkan
kesaksian sejarahnya. Dalam konteks yang terjadi di Papua, sangat
penting artinya dokumen sejarah yang mengangkat pengalaman dan kejadian
masa lampau amat penting untuk merekonstruksi —menyusun kembali— sejarah
bangsa Papua menuju Papua Baru. Kerena pengalaman lampau sangat
menentukan pemahaman diri orang Papua sekarang, dan masa depannya
sebagai suatu bangsa. Sehingga usaha untuk mencari dokumen sejarah
mejadi suatu agenda prioritas.
Khusus
bagi penulisan kembali sejarah orang Papua, dokumen-dokumen historis
ada di dalam pengalaman sejarah dan pemahaman diri bangsa Papua yang
dipengaruhi oleh rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi di tanahnya
sendiri. Orang Papua yang telah mengikuti perjalanan sejarah sejak zaman
Belanda bangsa Papua hingga sekarang di bawah pemerintahan RI adalah
sumber dan saksi-saksi sejarah yang dapat dipercaya. Kita tidak perlu
mencari dokumen sejarah di mana-mana. Dokumen sejarah dari luar negeri,
kita butuhkan tetapi hanya sebatas melengkapi. Bukan sebagai dokumen
utama.
Dokumen yang mendasari pelurusan sejarah bangsa Papua menuju Papua Baru itu harus dicari di Papua karena pertama
para pelaku dan koraban dari sejarah Papua yang ingin diluruskan itu
adalah rakyat kecil —bangsa Papua— yang ada di Tanah Papua. Kedua,
orang Papua ini mempunyai pengalaman sejarah yang tidak pernah ditulis
dan tidak pernah mendapat wadah, yang telah membentuk karakter dan
pemahaman diri orang Papua dewasa ini. Pemahaman ini perlu dimiliki oleh
orang Papua yang ingin meluruskan sejarahnya. Sehingga dengan sikap dan
pandangan ini, kita akan menghindari kesan bahwa orang Ppaua tidak ada
pengalaman sejarah —yang itu tidak mungkin— dan oleh karena itu harus
meminta bantuan orang lain atau pihak Barat untuk melegetimasi
pengalaman dan pemahaman sejarah (Giay, 2000: 1-2).
Memoria Passionis adalah sebuah gerakan ideologis dan intelektual untuk menyelami sejarah sunyi bangsa Papua.
Pemahaman sejarah dan dokumen sejarah menuju Papua Baru, tidak terlepas dari memoria passionis;
pengalaman sejarah penderitaan orang Papua yang mengalami penindasan
yang berat, sejak Tanah Papua dimasukkan ke dalam Negara Republik
Indonesia. Penderitaan ini teristimewa lantaran kejadian-kejadian yang
berkaitan dengan pembunuhan dan pelanggaran hak-hak dasar orang Papua.
Dalam catatannya, Giay (2000:3-6) mengungkapkan bahwa keberbedaan
menjadi sumber utama dari identtas Papua dan Indonesia. Dalam pemahaman
diri orang Papua, orang Papua itu ya orang Papua. Orang Papua tidak akan
pernah di-Indonesia-kan. Karena orang Papua siapapun dia, selalu
berpandangan bahwa orang Indonesia itu lain dari orang Papua. Pemahaman
ini tercermin dari pengalaman-pengalaman kecil yang menunjukkan
pandangan akan keberbedaan itu.
Salah
satu ekspresi serta representasi yang menjiwai penulisan sejarah baru
rakyat Papua ini adalah resistensinya terhadap konstruksi yang dibuat
oleh negara. Resistensi inilah yang berimplikasi kepada perlawanan
terhadap konstruksi sejarah yang dibentuk oleh negara. Resistensi yang
kuat akan terbentuk melalui serangkaian kesaksian dan narasi-narasi yang
dituturkan oleh rakyat Papua yang mempunyai pengalaman getir
berhubungan dengan negara. Salah satu pengalaman getir tersebut, yang
menjadi ingatan sosial dan terwarisi kepada generasi Papua selanjutnya
adalah kekerasan dan penderitaan.
Namun
sejarah kontemporer yang terjadi di Papua penuh dengan fragmentasi
(keterpecahan) di tengah masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri
dalam penulisan sejarah ini. Seperti halnya identitas etnik di Tanah
Papua yang heterogen dan penuh dengan kompleksitas, begitu juga yang
terjadi dalam gerakan penulisan sejarah baru rakyat Papua ini.
Kompleksitas yang dimaksudkan adalah begitu banyaknya lapis-lapisan di
tengah masyarakat Papua dengan berbagai posisi dan kepentingannya
masing-masing. Oleh sebab itulah membayangkan satu Papua (Pan Papua) adalah kemustahilan. Apa itu Papua atau ke-Papua-an hingga kini masih dalam perdebatan dan penuh dengan kompleksitas.
Gerakan
menulis sejarah baru menghadapi tantangan untuk memberikan jiwa kepada
identitas Papua yang masih dalam pembentukan dan dinamika terus-menerus.
Namun, sesuatu yang menjadi catatan penting adalah bahwa gerakan ini
sangat urgen karena dokumen sejarah itu adalah rakyat Papua yang berada
di Tanah Papua. Kesaksian mereka sangatlah penting artinya. Hal lainnya
adalah bahwa pengalaman kekerasan dan penderitaan adalah satu poin yang
tidak akan bisa dilepaskan dari gerakan penulisan sejarah baru rakyat
Papua. Kemungkinan salah satu identitas dari penulisan sejarah baru
rakyat Papua adalah pengalaman penderitaan akibat ulah negara. Dan oleh
sebab itulah salah satu representasi ke-Papua-an adalah perlawanan dari
ke-Indonesia-an.
Penulis
adalah staf Pendidik di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menulis buku Mencari
Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015).
SUmber : www.suarapapua.com